Popular Posts of The Week

June 24, 2015

Pesona Wisata Sejarah di Jawa Tengah

Jika biasanya melalui tulisan-tulisan di blog ini saya mengajak para pembaca untuk berwisata kuliner, berwisata alam, atau bahkan berwisata belanja, maka kali ini saya ingin mengajak para pembaca semuanya untuk berwisata sejarah. 

Membosankan ?

Tentu tidak akan. Inilah pengalaman yang saya alami ketika melakukan perjalanan ke beberapa kota di Jawa Tengah beberapa waktu lalu. Saya tidak pernah menyangka bahwa saya akan pulang ke Jakarta dengan membawa rasa cinta saya terhadap tempat wisata bersejarah di Jawa Tengah. 

Bermula ketika saya memulai perjalanan wisata sejarah ke Candi Borobudur, saya sudah mulai takjub dengan kemegahan bangunan ini. 

Bangunan bersejarah bagi para umat beragama Buddha yang diperkirakan dibangun pada tahun 800-an masehi ini memiliki desain yang sangat luar biasa megah dan indah. 

Terdiri dari banyak sekali stupa dengan formasi mengitari Stupa Utama yang terletak di puncak Candi Borobudur. Selain itu, di dalam stupa-stupa tersebut, kalian juga bisa menemukan Arca Buddha dengan posisi sedang duduk bersila. 

Bangunan Candi Borobudur ini terletak di atas bukit atau sekitar 265 meter di atas permukaan laut. Jika kalian sudah sampai di puncak Candi Borobudur, maka dari sana kalian juga bisa menikmati pemandangan alam berupa hamparan luas pepohonan hijau dan juga pegunungan. 


Selain menuju puncak Candi Borobudur, pastikan juga bahwa kalian akan mengitari bangunan Candi Borobudur ini, karena di sana kalian akan dibuat takjub dengan ukiran atau pahatan relief-relief yang sangat indah dan apik, yang tidak akan kalian sangka dibuat oleh pemahat atau pengukir yang hidup di tahun 800-an masehi. 


Jujur saja, setiap kali sedang membahas Candi Borobudur, saya selalu merasa terkagum-kagum dengan kehebatan arsitek (termasuk pemahat atau pengukir) yang membangun Candi Borobudur ini. Bagaimana bisa di tahun 800-an masehi, dengan kemampuan teknologi yang masih terbatas, mereka mendirikan sebuah bangunan dengan desain yang sangat kokoh dan kuat, rumit (dimana setiap detailnya memiliki makna tersendiri yang berkaitan dengan agama Buddha), namun tetap megah, indah, dan sangat apik. Menurut saya itu semua sempurna.

Masih di wilayah Yogyakarta, saya melanjutkan perjalanan wisata sejarah saya ke sebuah Masjid Bawah Tanah di komplek Taman Sari.



Untuk memasuki Masjid Bawah Tanah ini, saya harus turun melewati lorong panjang yang cukup gelap. Namun jangan khawatir bagi kalian yang takut gelap, karena tetap akan ada sinar matahari yang dapat menerangi perjalanan di sepanjang lorong tersebut.

Diperkirakan dibangun pada tahun 1765, Masjid Bawah Tanah ini memiliki bentuk bangunan yang bundar dan terdiri dari 2 lantai, yaitu lantai atas untuk jemaah pria dan lantai bawah untuk jemaah wanita. 
 

Antara lantai atas dan lantai bawah bangunan Masjid Bawah Tanah ini, terdapat penghubung berupa sebuah tangga bercabang 5, yang mewakili jumlah kewajiban umat muslim untuk sholat dalam sehari. Di bawah tangga bercabang 5 tersebut, terdapat sebuah tempat wudhu bagi para jemaah.

Yang membuat saya kagum dari Masjid Bawah Tanah ini adalah bahwa pemimpin ibadah sama sekali tidak memerlukan pengeras suara untuk mengumandangkan adzan. 

Masjid Bawah Tanah ini dibangun sedemikian rupa sehingga dapat menggemakan suara pemimpin ibadah ketika sedang mengumandangkan adzan, yang dapat terdengar sampai ke seluruh bagian Masjid Bawah Tanah, baik itu di lantai atas maupun di lantai bawah.

Ketika di sana, saya sempat mencoba menyentuh dinding Masjid Bawah Tanah ini. Saya merasakan suhu yang dingin dan sejuk dari dinding tersebut. Menurut informasi dari warga sekitar, pada waktu lampau, Masjid Bawah Tanah ini memang berada di bawah sebuah taman air. 

Itu artinya, pada waktu lampau, komplek atau jalanan yang saya lalui untuk menuju Masjid Bawah Tanah ini ditutupi oleh taman air. Seluruhnya adalah air. Membayangkan hal tersebut, tentu saja membuat saya semakin terkagum-kagum. Pantas saja komplek Taman Sari ini juga dikenal dengan nama Taman Sari Water Castle.  

Masjid Bawah Tanah di komplek Taman Sari ini adalah tempat wisata sejarah yang wajib untuk dikunjungi, baik dari segi keunikan bangunannya maupun asal usul sejarahnya. Rasa bangga saya pun seringkali muncul, terutama ketika saya menceritakan hal ini kepada teman-teman asing dari luar negeri yang ingin berkunjung ke Yogyakarta. 

Keluar dari Masjid Bawah Tanah ini, saya kemudian berkunjung ke Tempat Pemandian Sultan yang masih terletak di dalam komplek Taman Sari. 


Tempat Pemandian Sultan yang dibangun sekitar tahun 1758 atau disaat masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I ini masih terawat dengan sangat baik hingga sekarang. 

Di tempat ini, kalian tidak hanya akan menemukan 1 kolam, melainkan beberapa kolam yang pada waktu lampau memiliki peruntukannya masing-masing, yaitu ada yang untuk para selir, untuk anak-anak, dan juga ada yang khusus diperuntukan bagi Sultan dan seorang selir pilihannya.


Berkunjung ke Tempat Pemandian Sultan ketika siang hari rasanya membuat saya ingin merasakan mandi di kolam-kolam tersebut. Sesekali saya juga terbawa suasana dan seakan-akan bisa ikut merasakan suasana waktu lampau di Tempat Pemandian Kolam tersebut. Membayangkan ada banyak selir cantik sedang mandi bersama di kolam tersebut dan menunggu dipilih oleh Sultan untuk diajak mandi bersama di kolam yang berbeda.

Selesai dari Tempat Pemandian Sultan, saya sempat melihat Ruang Sauna Sultan. Saya sebenarnya sempat tidak percaya bahwa ditahun 1750-an, mereka sudah mengenal teknologi sauna. Tapi ternyata Ruang Sauna Sultan itu benar-benar ada.


Dengan memasukan uap-uap panas dari hasil pembakaran kayu bakar ke dalam 3 lubang yang terletak di bawah tempat duduk tersebut, maka Sultan sudah bisa merasakan teknologi sauna pada masa itu. Keren sekali.

Dari Yogyakarta, perjalanan wisata sejarah saya berlanjut ke kota tetangga, yaitu Solo. Di kota ini saya melakukan wisata singkat ke Keraton Surakarta. Sekalipun hanya melakukan kunjungan singkat pada waktu itu, tetapi saya tetap memperoleh 'kejutan' yang tak terlupakan dari Keraton Surakarta. 


Bangunan yang sudah didirkan sejak tahun 1744 ini ternyata masih berfungsi sebagai tempat tinggal Sri Sunan dan juga istrinya. Di tempat ini juga seluruh rangkaian kegiatan adat Solo tetap dilaksanakan oleh keluarga Sri Sunan.

Namun tentunya pengunjung hanya bisa melakukan wisata ke museum Keraton Surakarta nya saja. Ada banyak sekali benda-benda pusaka peninggalan sejarah di museum tersebut, mulai dari kereta, senjata perang, seragam prajurit, sampai benda-benda pemberian dari raja Eropa. 

Salah satu yang menarik perhatian saya adalah sebuah kereta berwarna putih dengan hiasan patung malaikat di sampingnya. 

Menurut saya, ini adalah kereta paling indah yang ada di dalam Keraton Surakarta. Tentu saja saat itu perhatian saya mengarah seluruhnya kepada kereta tersebut. 

Dengan penasaran saya sempat memegang-megang beberapa bagian dari kereta tersebut. Saya juga sempat berfoto selfie dengan kereta tersebut sebagai latar belakangnya. 

Ketika mulut saya masih terus memuji-muji keindahan kereta tersebut, tiba-tiba ada seorang penjaga museum yang sedang menutup pintu berkata, "Ya, memang bagus keretanya, dek! Kereta mayat itu.."

Dan kemudian yang saya rasakan adalah hening.


Inilah yang menarik dari sebuah kunjungan wisata ke tempat bersejarah. Dibalik setiap keindahan suatu tempat atau suatu benda, terdapat begitu banyak cerita dari waktu lampau yang akan membuat kita tercengang dan terkagum-kagum. Kereta Jenasah ini salah satunya. 


Dibalik desainnya yang indah, Kereta Jenasah ini sudah seringkali membawa tubuh tak bernyawa ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Tentunya saya tidak akan pernah bisa melupakan 'kejutan' yang saya dapatkan dari Keraton Surakarta ini, yaitu memegang dan berfoto dengan Kereta Jenasah.

Selesai dari Solo, perjalanan wisata saya berlanjut ke kota berikutnya di Jawa Tengah, yaitu Semarang. Di kota ini kalian bisa berwisata sejarah sekaligus menguji keberanian kalian di gedung Lawang Sewu.


Keberadaan Lawang Sewu sudah seperti menjadi landmark kota Semarang. Gedung yang dibangun sekitar tahun 1904 ini awal mulanya digunakan sebagai kantor administrasi perusahaan kereta api swasta milik Belanda. Setelah kemerdekaan Indonesia, gedung Lawang Sewu ini kemudian sempat dijadikan sebagai kantor pusat PT. Kereta Api Indonesia pada masa itu.  


Sesuai namanya yang memiliki arti Pintu Seribu, gedung Lawang Sewu ini memang memiliki banyak sekali pintu di setiap sisinya. Sekalipun sudah dibangun sejak tahun 1904, tetapi pemerintah setempat sangat baik dalam merawat dan menjaga keberadaan gedung Lawang Sewu ini, sehingga kondisinya tetap rapi, bersih, dan jauh dari kesan sebuah gedung tua.


Namun walaupun begitu, perawatan dan pemugaran yang dilakukan pemerintah terhadap gedung Lawang Sewu ini sama sekali tidak mengurangi nilai sejarah yang terdapat di dalamnya. Hal ini dapat dirasakan dari suasana di dalam gedung yang terasa masih penuh dengan misteri dan tentu saja penjara bawah tanahnya yang terkenal angker. 

Penjara bawah tanah di gedung Lawang Sewu ini merupakan tempat penyiksaan dan pembunuhan para pemuda Semarang oleh para penjajah Jepang.

Jumlah korban diperkirakan mencapai angka ribuan jiwa dan jenasah para korban dibuang ke sungai dekat gedung Lawang Sewu ini. 

Sampai sekarang, gedung Lawang Sewu ini meninggalkan cerita sejarah yang memilukan tentang bagaimana perjuangan para pemuda Indonesia, khususnya Semarang, dalam melawan para penjajah. 

Suasana penjara bawah tanah yang terkenal dengan kesan mistis, angker, lembab, dan gelap sungguh menjadikan tempat tersebut sebagai penguji nyali para pengunjung yang ingin memasukinya. 

Selain ke penjara bawah tanah, kalian juga bisa mengelilingi seluruh bagian dari gedung Lawang Sewu ini, baik di siang hari atau di malam hari. 

Jujur saja, saya yang pada saat itu berkeliling gedung Lawang Sewu di siang hari masih bisa merasakan adanya sedikit ketakutan, terutama ketika mendengar suara hembusan angin di dalam setiap ruangannya. 

Walaupun jauh dari kesan sebuah gedung tua, namun suasana di dalam gedung Lawang Sewu ini tidak dapat berbohong, bahwa pernah terjadi sebuah tragedi kemanusiaan yang mengerikan di dalam sana. Kalian juga bisa ikut merasakannya di video yang saya rekam berikut ini :




Dari gedung Lawang Sewu, saya melanjutkan ke tempat wisata berikutnya. Merupakan salah satu tempat wisata sejarah favorit lainnya di Semarang, yang bahkan sudah cukup terkenal sampai ke kota-kota lain di Indonesia, yaitu Klenteng Sam Poo Kong.

Klenteng yang wajib kalian kunjungi ketika sedang berwisata ke Semarang ini merupakan suatu tempat yang telah menjadi saksi bagaimana kerukunan antar umat beragama terjalin harmonis di kota Semarang. 


Dimasa lampau, Klenteng yang awalnya merupakan sebuah goa batu berukuran besar ini sempat dijadikan tempat peristirahatan oleh seorang Laksamana muslim asal Tiongkok bernama Zheng He. Beliau yang sedang melakukan pelayaran dari negaranya memutuskan untuk menepi di kota Semarang dan beristirahat serta menetap di goa batu besar tersebut.

Laksamana Zheng He sangat dikenal sebagai sosok yang ramah, baik hati, dan sering membantu warga sekitar. Hal ini akhirnya membuat Laksamana Zheng He menjadi dikagumi dan juga sangat dihormati. 

Bahkan ketika Laksamana Zheng He meninggal dunia, warga sekitar masih tetap mendatangi goa batu berukuran besar tersebut untuk sekedar memberikan penghormatan kepada Laksamana Zheng He. 

Mengingat pada saat itu mayoritas warga Semarang adalah penganut agama Kong Hu Cu, maka mereka pun melakukan penghormatan dengan cara sembahyang layaknya seorang umat yang sedang beribadah. Kini, goa batu besar tersebut sudah berubah wujud menjadi sebuah Klenteng Sam Poo Kong.

Selain mengandung nilai histori yang menggambarkan kerukunan antar umat beragama di kota Semarang, suasana dan desain arsitektur Klenteng Sam Poo Kong ini juga sangat cocok bagi kalian para penggemar foto.  Kalian akan diajak untuk merasakan suasana ala-ala negeri tirai bambu.



Sekalipun sudah berfungsi sebagai klentang, namun keberadaan Klenteng Sam Poo Kong ini tidak hanya diperuntukan bagi umat beragama Buddha atau Kong Hu Cu saja. Saya ternyata salah besar ketika berpikiran bahwa yang akan saya temui di Klenteng ini hanyalah pemandangan umat beragama Buddha atau Kong Hu Cu yang sedang beribadah atau bersembahyang. 

Di Klenteng Sam Poo Kong ini, saya menemukan banyak sekali umat beragam lain, yang datang mengunjungi Klenteng ini untuk sekedar duduk santai menghabiskan waktu sambil bersenda gurau dengan teman-teman mereka. Sebuah pemandangan yang menyejukan hati.



Di Klenteng Sam Poo Kong ini, tidak hanya kesejukan angin sepoi-sepoi yang bisa saya rasakan, tetapi juga kesejukan dari sebuah kerukunan antar umat beragama yang sudah mulai jarang bisa saya temui di tempat lain.

Kekaguman saya terhadap Klenteng Sam Poo Kong ini tidak hanya dikarenakan oleh kisah sejarahnya dimasa lampau, yang menceritakan kerukunan antar umat beragama, tetapi juga dari kisah nyatanya di masa kini, yang tetap dapat menunjukan bahwa kerukunan antar umat beragama itu bukan hanya mitos atau kisah sejarah dimasa lampau saja, tetapi nyata dan dapat dirasakan hingga masa kini. 

Jadi tunggu apa lagi ?? Siapkan koper, kamera, dan juga diri kalian, untuk menyaksikan betapa mempesonanya tempat wisata bersejarah di Jawa Tengah. Kalian akan menemukan lebih dari apa yang kalian bayangkan. Kalian akan merasakan lebih dari apa yang kalian pikirkan. Kekuatan sebuah sejarah dan pesonanya dapat kalian temukan di Jawa Tengah. So.. Let's #ExploreJawaTengah..

1 comment:

  1. kak, kok ada yogyanya, kak ..
    yogya kan bukan jawa tengah, kak .. :(

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...