Jujur saja, suhu udara di Baduy Dalam jauh lebih sejuk. Begitu tiba, gue dkk langsung dipersilahkan masuk ke rumah Ayah Naldi, tempat gue dkk akan menginap.
Seluruh rumah di sana tidak benar-benar menempel dengan tanah, jadi masih ada ruang antara lantai rumah dengan tanah. Untuk masuk ke dalam rumah, kita harus naik, anggaplah seperti menaiki satu anak tangga. Seluruh bagian rumah terbuat dari kayu, kecuali atapnya yang terbuat dari ijuk. Ketika masuk ke dalam rumahnya, gue dkk melihat ukuran ruangan yang sangat besar, hanya ada satu pembatas untuk satu kamar utama yang ditempati oleh Ayah Naldi sekeluarga. Lalu, ada juga dapur yang tidak dibatasi sekat apapun sehingga gue dkk bisa melihatnya dengan jelas. Selebihnya adalah ruangan besar (yang mungkin adalah ruang tamu bagi mereka), namun akhirnya dijadikan tempat tidur oleh kami semua.
Ketika masuk, gue dkk langsung mengambil tempat di mana kami akan tidur. Gue dkk juga langsung meletakan tas-tas di sana. Setelahnya, gue dkk langsung mencari sungai untuk bersih-bersih dan buang air tentunya. Saat itu sudah lewat maghrib, tidak ada lagi pencahayaan apapun, gue dkk juga sudah tidak berani menggunakan handphone mengingat itulah salah satu aturan di Baduy Dalam. Akhirnya dengan penuh kehati-hatian, gue dkk melakukan seluruh aktivitas di sungai tersebut.
Ini bukan sungai besar yang deras yah guys. Ini sungai kecil yang airnya mungkin hanya di atas mata kaki lalu dipenuhi bebatuan. Jujur saja, ketika pencahayaan gelap gulita seperti itu, lebih nyaman untuk membuka baju karena memang kita tidak akan benar-benar bisa melihat sekeliling dengan jelas. Mengingat sungainya cukup panjang, maka area wanita dan pria dapat terpisah cukup jauh (walaupun tidak ada aturan resmi di mana biasanya wanita dan di mana biasanya pria). Oh iya, mengikuti aturan yang ada, gue dkk juga tidak boleh menggunakan shampo atau sabun selama bersih-bersih di sungai yah. Sejujurnya, tissue basah benar-benar menjadi andalan selama berada di Baduy :)
Setelah bersih-bersih, gue dkk akhirnya disajikan makan malam. Menunya sangat mirip dengan menu keseharian kita semua, ada tahu tempe goreng, ikan goreng (kecil-kecil), sambel, sop sayur, telur dadar, dll. Bahagia sekali ketika gue mencicipi masakan mereka dan rasanya enak, sambelnya pun pedas.
Malam harinya, kita semua masuk ke sesi ngobrol santai dengan Ayah Naldi. Di sesi ini, Ayah Naldi akan menjawab semua pertanyaan mengenai Suku Baduy Dalam. Hal-hal yang akhirnya gue ketahui tentang Suku Baduy adalah;
(1) Mereka tidak boleh berjalan menggunakan alas kaki dan dengan kendaraan apapun (sepeda, kapal laut, mobil, motor, pesawat, pokoknya semuanya deh). Mereka hanya boleh berjalan kaki dengan kaki telanjang. Mereka sering melakukan perjalanan dengan berjalan kaki ke Tangerang, Bintaro, Jakarta, dll. Berjalan kaki berhari-hari guys!
Ketika berada di kota, mereka boleh masuk ke mall, bahkan ada juga yang pernah menonton di bioskop. Yang penting aturan adat yang sudah ada, itulah yang tidak boleh dilanggar. Jika dalam perjalanan mereka melanggar aturan adat, maka ketika pulang mereka bisa menjadi sakit. Tapi bukan sakit horror yang parah kok guys, misalnya seperti sakit perut, dll. Biasanya mereka harus jujur mengenai kesalahan yang mereka perbuat, barulah mereka bisa berangsur sembuh.
Oh iya, ketika berada di kota,
mereka biasanya menginap di rumah kerabat. Kerabat yang dimaksud adalah tamu yang sering ke Baduy Dalam yang akhirnya menjadi
teman dan dianggap kerabat oleh mereka.
(2) Di Baduy Dalam, anak-anak memang tidak bersekolah secara formal, tetapi mereka yang sudah berumur tertentu akan dikumpulkan di balai warga dan diajarkan berbicara bahasa indonesia, berhitung, dll. Sebagian dari mereka sudah mengenal mata uang rupiah juga kok. Walaupun hampir seluruh transaksi di Baduy Dalam menggunakan sistem barter, tetapi uang rupiah yang mereka punya bisa mereka gunakan ketika sedang berpergian.
(3) Pernikahan adalah terjadi karena perjodohan. Sejak umur 1 tahun, anak-anak Baduy Dalam sudah dijodohkan, tetapi tidak semua anak diberitahu siapa orang yang dijodohkan dengannya. Usia menikah rata-rata mulai dari 14 tahun untuk wanita dan 17 tahun untuk pria. Soal perjodohan, kebetulan ada yang namanya Yayat yang akan menikah beberapa bulan lagi, saat itu Yayat berusia 18 tahun. Gue sempat bertanya kepada Yayat mengenai yang mana calon istrinya, lalu dengan singkat Yayat menjawab : "Belum tau, itu urusan orang tua yang nanti memilihkan". Yang mereka tau, karena sudah memasuki usia 17 tahun ke atas, maka mereka akan menikah.
(4) Tidak boleh ada yang bercerai di Baduy Dalam. Jika hal itu terjadi, maka mereka harus keluar dari Baduy Dalam. Saat itu gue bertanya ke Ayah Naldi, mengingat semua pernikahan terjadi karena perjodohan, apakah Ayah Naldi pernah bertengkar dengan istri? Santai sekali Ayah Naldi saat menjawab "Tidak pernah, lagian apa sih yang mau diributin?"
(5) Baduy Dalam ternyata cukup luas guys. Terdiri dari empat desa. Saat itu gue dkk hanya masuk ke satu desa saja, yaitu tempat Ayah Naldi.
Sepertinya itu saja yang gue ingat dari perbincangan dengan Ayah Naldi. Gue dkk kemudian melanjutkan tidur. Efek berjalan kaki selama 5 jam ternyata muncul saat tengah malam menjelang subuh. Suhu udara dingin sekali saat itu, ditambah lagi gue dkk tidur di lantai rumah yang berupa kayu, jangan tanya soal alas tidur, bisa jadi tuan rumahnya juga tidak menggunakan alas tidur. Kaki gue, merintih kesakitan. Rasanya sulit gue gambarkan dengan kata-kata. Dari telapak kaki sampai pinggang, rasanya sakit sekali. Gue dkk sudah bingung harus mengubah posisi tidur menjadi seperti apa untuk bisa nyaman dan melanjutkan pulas. Akhirnya gue mengoleskan krim panas pereda nyeri yang cukup membantu.
Setelah berhasil tertidur lagi, gue dkk terbangun karena suara ayam berkokok persis di bawah tempat kami tidur. Seperti yang gue bilang diawal, ada ruang antara lantai rumah dengan tanah. Di sanalah tempat hewan seperti ayam dan mungkin kucing sering tertidur. Suara ayam itu sangat jelas sekali, mengingat antara ayam dan gue dkk hanya terpisah oleh lantai rumah yang terbuat dari kayu. Boleh dibilang, jika lantai rumah itu ambruk, maka gue dkk akan jatuh ke tempat ayam-ayam itu :))
Sekitar jam 6 pagi, gue dkk menuju sungai untuk bersih-bersih. Di sini gue dkk baru melihat dengan jelas pembagian area sungai untuk penggunaan yang berbeda-beda. Jadi di bagian atas yang paling dekat dengan mata air adalah untuk mengambil air minum, aliran berikutnya untuk mencuci beras dan sayuran, lalu lanjut untuk mencuci pakaian bersamaan dengan mandi, lalu untuk mencuci perabot makanan, dan aliran terakhir untuk buang air.
Karena langit sudah terang, ternyata rasanya agak canggung untuk membuka pakaian walaupun dengan sesama wanita. Akhirnya gue dkk mensiasati dengan tetap menggunakan sarung saat beraktivitas di sungai tersebut.
Saat di sungai, gue baru sadar kalau ternyata ada anak bungsu Ayah Naldi yang sedang dimandikan. Oh yah, gue mau sedikit bercerita mengenai Ayah Naldi. Ini dia penampakan Ayah Naldi :
Beliau berusia 39 tahun saat itu. Memiliki tiga anak kandung, satu anak angkat, dan sudah ada cucu dari anak pertamanya. WOW, 39 tahun sudah menjadi kakek. Tapi wajar sih, karena beliau sudah menikah sejak usia 17 tahun.
Anak bungsu Ayah Naldi masih berusia 2 bulan saat itu. Namanya SUSAN, lucu sekali. Pipinya gembul, kulitnya putih, matanya besar, rambutnya juga lebat. Kalau di kota, anak 2 bulan itu akan menjadi alasan orang tuanya untuk begadang, tetapi selama gue bermalam, Susan hanya terdengar 'ngoceh' sekali ditengah malam, itupun hanya sekitar 5-10 detik. Anteng sekali. Gue juga sempat tidak sadar kalo ternyata ada bayi di rumah tempat gue bermalam. Selain karena Susan anteng dan tidak ada suaranya, yah karena faktor gelap juga sih, hehehe..
Ok, balik ke saat Susan sedang dimandikan. Saat itu susan digendong kakaknya, Elis, untuk dimandikan di sungai. Elis kurang tau usia dirinya berapa, tapi jika dilihat dari postur tubuhnya, gue rasa sekitar 11-12 tahun. Gue saat itu sangat menikmati pemandangan Elis yang dengan sigap memandikan Susan, bayi usia 2 bulan yang tetap anteng saja saat dimandikan dengan air sungai dingin saat jam 6 pagi.
Selesai dari sungai, gue dkk sarapan pagi sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan pulang. Oh iya, di depan rumah Ayah Naldi, ada penduduk Baduy Luar yang sengaja datang ke Baduy Dalam untuk berjualan, karena mereka tau sedang ada turis yang datang bermalam. Barang jualannya sendiri seperti pop mie, mie instan (bisa tambah nasi dan telur jika mau), minuman botol, permen, snack, roti, dll.
Untuk penduduk asli Baduy Dalam sendiri, mereka berjualan madu dan gula aren asli yang mereka panen/buat sendiri guys. Saat itu gue juga sempat membelinya dari mereka, gue lupa harganya berapa, tapi masih terjangkau kok.
Untuk perjalanan pulangnya sendiri, ternyata jalur yang dilalui berbeda dengan jalur kedatangan. Beruntung, jalur kepulangan tidak seberat kedatangan. Tanjakan masih tetap ada, tapi mungkin karena gue dkk sudah ada gambaran mengenai seberapa lelah dan panjangnya perjalanan, maka gue dkk sudah tidak kaget lagi, jadi terasa lebih ringan, mungkin seperti itu.. Hehehe..
Di tengah perjalanan, gue dkk sesekali berhenti untuk istirahat. Ada juga waktu gue dkk berhenti di sungai sambil menunggu peserta pria lainnya bermain air di sungai, tentu saja sesuai ijin dan pengawasan tour leader dan Ayah Naldi (yang ikut mengantarkan).
Gue dkk juga sempat berfoto di jembatan akar yang cukup terkenal.
Jembatan Akar ini berasal dari akar pohon yang besar-besar dan menjalar sangat luas.
Perjalanan yang sangat melelahkan namun berisi banyak pengalaman. Gue senang bisa punya kesempatan berkunjung ke Baduy Dalam. Semoga kalian juga yah :)
0 comments:
Post a Comment